WELCOME TO MY PARADISE!”
Keharusan untuk menyediakan ikan segar membuat Susi terpikir untuk membeli pesawat terbang. Mengapa pula ia membuka sekolah pilot sendiri?
SEKOLAH PILOT DI RUMAHNYA
Susi sungguh pribadi yang penuh kontradiktif. Ia bermetamorfosis dari gadis kampung, menjadi warga dunia dan sukses sebagai wanita pengusaha bidang perikanan dan jasa penerbangan. Berbagai penghargaan ia terima. Mulai dari Pelopor Wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Young Entrepreneur of the Year dari Ernst and Young Indonesia, serta Primaniyarta Award for Best Small & Medium Enterprise Exporter dari Presiden Republik Indonesia. Tahun 2006, ia menerima Metro TV Award for Economics, Inspiring Woman Award for Economics.
Susi yang cuma lulusan SMP, kini Presiden Direktur PT ASI Pudjiastuti Marine Product dan Presiden Diretur PT ASI Pudjiastuti Aviation yang mengoperasikan Susi Air. Di luar itu, aktivis lingkungan independen ini juga dipercaya sebagai Board of Directors HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) bidang hubungan dalam negeri; serta Ketua Komisi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah pada KADIN. Kini ia juga dipercaya sebagai dosen tamu pada program pendidikan di lingkungan BRI dan Telkom, bahkan juga dipercaya menjadi dosen tamu di ITB, IPB, dan UGM.
Tentang 3 anak muda Eropa yang ikut pulang kampung bersamanya, dan diakui Susi sebagai hendak belajar di rumahnya itu, ternyata adalah pilot-pilot muda lulusan sekolah penerbang di Norwegia, Prancis, dan Jerman. Mereka datang ke Indonesia atas biaya sendiri, untuk belajar terbang lanjutan di rumah Susi. Lho, Susi punya sekolah penerbang? Persis! Namanya Susi Flying School, dibangun tahun 2008, di bawah manajemen PT ASI Pudjiastuti Flying School dengan Susi sebagai direktur utamanya.
Sejujurnya, Susi bilang bahwa pilot-pilot di perusahaannya, berjumlah nyaris mencapai seratus orang, umumnya memang pilot asing dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan beberapa dari Filipina. “Mencakup lebih dari 90% pilot yang bekerja pada kami,” ucapnya, sambil menghela napas panjang. Susi memang tak sedang berbangga diri bahwa sebagai anak negeri, wanita pribumi, ia berhasil mempekerjakan pilot-pilot muda asing. “Tidak! Saya tidak bangga! Saya justru merasa sedih…,” lanjutnya, sambil lagi-lagi ia menghela napas panjang.
Susi juga bukan tidak nasionalis dengan mempekerjakan pilot-pilot asing di nyaris semua pesawat miliknya. Awalnya, ia juga mimpi, pesawat-pesawatnya terbang melintasi khatulistiwa dan singgah di berbagai pelosok Nusantara, dengan pilot-pilot sebangsa dan sewarna kulit dengannya. Tetapi, mimpi itu tinggal sekadar mimpi. “Untuk mendapatkan pilot nyatanya tak semudah kita membalikkan tangan,” katanya.
Indonesia, menurut Susi, amat kekurangan pilot. Dari kebutuhan sekitar seratus pilot tiap tahunnya, cuma sebagian kecil saja yang diisi oleh pilot-pilot lulusan sekolah penerbang di Indonesia. Sebagian besar lebihnya merupakan pangsa kerja serapan pilot-pilot asing.
Sedemikian besarnya peluang kerja ini, sampai-sampai saat masih di bangku sekolah pun terkadang banyak calon pilot Indonesia yang diijon kerja di berbagai perusahaan jasa penerbangan yang ada. Satu hal lain, pesawat-pesawat yang dimiliki Susi adalah pesawat-pesawat ringan, pesawat ‘mini’, dengan rute penerbangan yang tak populer di berbagai pelosok Indonsia. “Pilot-pilot kita, apalagi yang senior, mana mau terbang mengawaki pesawat kecil, apalagi ke pelosok-pelosok terpencil yang sepi dan susah dijangkau. Pastilah pesawat-pesawat jet berbadan besar, dengan perusahaan-perusahaan besar dan terkenal, lebih mendatangkan prestise untuk dijajal sebagai lahan kerja,” katanya, setengah bergurau.
Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pilot (dan ahli mesin) di perusahaannya, Susi bergerilya menyebar iklan ke situs-situs internet ataupun datang langsung ke sekolah-sekolah penerbangan sipil di berbagai negeri, khususnya Amerika dan Eropa. Untuk menindaklanjuti minat menjadi pilot Susi Air itu pula, ia lantas membangun Susi Flying School dengan berbagai program dasar dan lanjutan. Beberapa ruang kelas ber-AC dibangunnya di halaman rumahnya yang luas, lengkap dengan mock-up dan ragam compu-system dan alat avionik lainnya. Untuk uji terbang, silakan ke airstrip pribadinya di Pantai Pangandaran.
“Bagi pilot-pilot muda asing, menerbangkan pesawat-pesawat Susi Air bukan sekadar untuk menambah jam terbang yang memang amat dibutuhkan. Lebih dari itu, alam dan budaya Indonesia merupakan titik penting dari minat kerja mereka. Bayangkan! Mereka bisa melihat dan mendekat langsung ke spot-spot alam Indonesia, bersinggungan langsung dengan aktivitas masyarakat di berbagai pelosok negeri, dan untuk semua pengalaman berharga itu, mereka mendapat bayaran yang pantas sebagai pilot,” kata Susi. Tak heran bila banyak pilot Susi Air yang amat kerasan bekerja. Bahkan, saat-saat cuti pun, bukannya mudik ke negerinya, eh… mereka malah pergi ke tempat-tempat eksotis di berbagai pelosok Indonesia.
MENGALIR SEPERTI AIR
Susi bisa saja mengaku bahwa kehidupan spiritualnya masih kurang sempurna. Namun, seorang ajengan, pimpinan agama Islam di sebuah wilayah di Jawa Barat, mengatakan, Susi gemar membantu pembangunan masjid. Salah satu masjid yang dibangun Susi adalah Masjid Istiqomah, masjid besar dan cantik dengan halaman yang lumayan luas, tegak di sebuah persimpangan jalan utama di Kota Pangandaran. “Ini dibangun Ibu Susi tahun 2007 awal, saat-saat ia aktif membantu membangun kembali kawasan Nanggroe Aceh Darussalam pascatsunami 26 Desember 2004,” ungkap seorang warga yang femina temui di pinggir jalan.
Untuk keperluan pembangunan tempat ibadah ataupun aktivitas keagamaan dan sosial, Susi dikenal ringan tangan. “Gampang dimintai tolong,” ungkap Ramadi, nelayan Pangandaran. Pascatsunami yang menghantam Pangandaran tahun 2007, rumah Ramadi luluh lantak, dan bisa terbangun lagi antara lain berkat bantuan Susi. Kini Ramadi mewakili beberapa rekannya untuk bisa mendapatkan bantuan kredit murah kepemilikan longboat (sampan panjang) dari bahan fiberglass untuk nelayan setempat, yang diusahakan Susi sejak beberapa tahun terakhir ini.
“Apa yang mereka berikan pada saya, kebaikan, persaudaraan, jauh lebih banyak…,” ungkap Susi. Senin pagi itu, ketika kembali bertemu femina, ia sudah rapi. Biasanya ia masih sempat olahraga, jalan-jalan keliling halaman sembari ‘sidak’ ke pabrik, dapur, ataupun ruang-ruang lain di rumahnya itu. Tetapi, kali ini tidak. “Alvi harus masuk sekolah, pukul delapan,” katanya, sembari menyuapkan potongan serabi di tangannya.
Selain itu, ia juga ada janji dengan sekelompok relasi bisnisnya. Untuk itu, di pagi yang masih berkabut itu, ia sudah harus keluar rumah. Berjalan sedikit ke airstrip yang dibangunnya di pinggir pantai. Di situ sudah menunggu sebuah Cessna, yang segera menerbangkannya ke Bandara Halim Perdanakusuma. Belum sampai pukul delapan, ia mengantar si bungsu Alvi ke sekolahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Dan, beberapa menit kemudian ia sudah sibuk menerima telepon branch office-nya, tak jauh dari situ. Mengenai hidupnya yang selalu sibuk, dengan sederhana Susi bilang, “Mengalir saja seperti air….”
Tamat
Penulis: Heryus Saputro (Kontributor – Jakarta)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar