Jumat, 25 Juni 2010

iptn

PTDI atau IPTN


 
Konon, ketika pembuat bom atom india digugat, kenapa memboroskan begitu banyak uang di tengah kemiskinan, ia menjawab dengan meyakinkan: andai uang itu diguyurkan ke kemiskinan, kemiskinan tak akan berubah, dan kita tak mampu membanggakan apa pun. ia ingin mengatakan bahwa besarnya biaya pembuatan itu bila dipakai memberantas kemiskinan hanya akan habis tanpa bekas, sedangkan bila digunakan membuat bom atom bisa menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan india.

Bila hal itu hendak dijadikan contoh soal, tentulah bukan soal bom atomnya, melainkan adanya semacam ”teori keseimbangan”. Kita kalah di satu bidang, menang di bidang yang lain. Ada persamaan antara India dan Indonesia dalam hal ini. PTDI, lebih populer dikenal sebagai IPTN, dicanangkan sebagai pelopor teknologi tinggi di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, di tengah para ahli sibuk dalam teknologi tepat guna, hal yang sesuai kebutuhan bagi negara berkembang seperti Indonesia, menciptakan pompa air yang murah misalnya, IPTN adalah pabrik pesawat terbang. Di masanya, pernah industri ini menjadi sumber konflik antara Habibie, pelopor alih-teknologi tinggi itu, dan para teknokrat ekonomi yang melihatnya sebagai pemborosan nan tak berguna.
Habibie tak lalu menjawab sebagaimana ahli bom atom India itu. Kalau IPTN bertahan sampai pemerintahan Orde Baru jatuh, itu lebih karena perlindungan sang ketua rezim terhadap Habibie.

Namun, seperti catatan sejarah yang diceritakan kembali itu (lihat ”Mimpi yang Terpaksa Mendarat”, halaman 10), sebenarnya potensi kita untuk membuat pesawat ada. Bahkan salah satu ciptaan itu, meski terjadi di zaman kolonial Belanda, menggegerkan dunia karena bisa terbang sampai di Belanda dan Cina. Dan bagaimanapun, loncatan ke teknologi tinggi diperlukan agar kita juga memiliki ahli-ahli yang tak hanya tahu merakit sepeda motor atau mobil niaga.

Dengan perhitungan yang cermat dan tepat, pada gilirannya teknologi tinggi akan memberikan bonus untuk kita semua. Masalahnya, memang akan terasa pincang, dan karena itu berbahaya, bila hanya teknologi tinggi itu yang diperhatikan. Dan ini terjadi pada IPTN yang bahkan pernah dihebohkan menyedot dana reboisasi yang sangat diperlukan untuk penghutanan kembali hutan yang digunduli.

Juga, IPTN terasa sebagai hal yang tidak adil ketika pemerintah kurang begitu memperhatikan pendidikan. Insinyur-insinyur lulusan perguruan tinggi di Indonesia tak diakui di dunia internasional karena dianggap kurang berkualitas. Insinyur kita kalah dengan insinyur Malaysia, apalagi Singapura dan Cina.

Upaya pemerintah pasca-Orde Baru menarik IPTN ke rel yang efisien sekuat tenaga dilakukan. Kalau kemudian pabrik pesawat (yang pernah disindir sebagai pabrik panci karena ternyata produknya kurang bermutu) itu terpaksa harus ditutup sementara, ada faktor-faktor lain. Misalnya, pemerintah tak kuat terus-menerus memberikan dana ketika krisis ekonomi ternyata tak kunjung pergi. Mesti ada pembenahan yang lebih drastis.

Namun pembenahan itu pun, bila tak menghasilkan produk yang bisa mengangkat nama Indonesia, akanlah dirasakan banyak orang sebagai proyek mercusuar. Sementara itu, membubarkan pabrik ini rasanya juga kurang tepat. Di PTDI (IPTN) itu kadung banyak orang Indonesia yang ahli tentang pesawat. Mereka tak mudah bekerja di bidang lain. Jadi, sangat diperlukan kemanajemenan yang piawai untuk menavigasi pabrik pesawat itu.

Dan pasti hal itu sangat tidak mudah. Masalahnya, bukan cuma perkara teknologi dan pemborosan uang. Juga ada masalah rasa keadilan. Kita belum bisa bilang seperti pakar bom atom India itu. Di Negeri Sungai Gangga itu, relatif pemerintahan berjalan bersih, relatif KKN minim, dan demokrasi berjalan. Asumsinya, proyek bom itu berjalan sebagaimana mestinya: biaya tidak digelembungkan, semua pengeluaran bisa dipertanggungjawabkan.

Bila saja PTDI yang dulu bernama IPTN berjalan seperti itu, lebih luas lagi kita punya good governance, rasanya IPTN adalah sebuah aset negara yang penting. Tapi kalau perusahaan tersebut bukan hanya kurang membanggakan produknya, namun juga dijadikan alat menangguk dana, menjadi sumber KKN berbagai pihak, memang menjadi tidak pada tempatnya. Perusahaan itu akan menjadi the right thing in the wrong nation.

Tidak ada komentar: